Menjadi ibu memang membutuhkan kesabaran ekstra terutama ketika menghadapi permasalahan anak. Dua orang anak perempuanku hampir tidak memiliki masalah yang berarti dari semenjak mereka kecil hingga sekarang, mudah- mudahan seterusnya.
Tapi untuk Helmi, satu-satunya anak lelaki kami, masalah hampir selalu ada disetiap fase tumbuh kembangnya. Seperti yang pernah aku kisahkan di Anakku Tidak Mau Sekolah adalah masalah yang dialami Helmi ketika TK, dan tulisanku yang bejudul Anakku Tidak Mau Sekolah part 2 permasalahan yang di hadapi Helmi ketika awal masuk SD.
Helmi...Helmi, disebagian tulisan tentang anak-anakku adalah tentang dia. Bukan karena aku lebih menyayanginya dibanding anakku yang lain, tapi keseharian Helmi lah yang terkadang menyita perhatian serta perasaanku sebagai ibunya, dan kalau sudah begini semuanya akan dengan mudah tertumpah di sini.
Awal masuk kelas satu SD yang seharusnya adalah kelas dua bagi Helmi, Helmi mendapat guru pengajar yang baik, sabar serta telaten, Helmi terlihat nyaman bersama Bu Ema Yanti Sudewi. Sebelum pembagian kelas memang aku sudah menceritakan perihal anakku kepada pihak sekolah, dengan harapan agar Helmi diserahkan kepada guru yang bisa memahaminya.
Helmi pun bisa belajar dengan nyaman dan hampir tidak menemuai masalah yang berarti. Di kelas dua pun Helmi mendapat guru yang sama baiknya dengan Bu Ema, yaitu Bu Amel. Dengan Bu Amel Helmi terlihat nyaman dan tanpa masalah, hanya satu yang sempat membuat dia uring-uringan dan enggan pergi ke sekolah yaitu guru agama yang menurut Helmi "galak" karena suka berbicara keras.
Trauma denga kisah lama Helmi yang tidak mau sekolah, akupun segera menemui guru agama tersebut untuk membicarakan perihal Helmi. Tentunya dengan rasa enggan dan sungkan karena seolah-olah aku menyalahkan beliau atas masalah ini, padahal maksudku hanyalah ingin mencari solusi atas masalah anakku.
Tapi memang berkomunikasi dengan guru adalah cara yang paling tepat untuk mengatasi masalah anak di sekolah, hal ini pula yang disarankan oleh Pak Win, psikolog yang dulu pernah menangani Helmi.
Setelah pembicaraan itu, Helmi tidak pernah mengeluh tentang "kegalakan" beliau lagi dan Helmi pun kembali bersekolah dengan semangat.
Sekarang Helmi duduk di kelas tiga, dengan seorang guru pengajar yang cukup sabar dan baik yaitu Bu Lala. Hanya saja dalam mengajar Bu Lala lebih banyak memberikan tugas menulis, dan ini adalah masalah Helmi berikutnya. Menulis adalah sesuatu yang tidak disukai, bukan berarti anakku tidak mau menulis sama sekali, Helmi hanya tidak telaten kalau harus menulis banyak-banyak.
Sementara Bu Lala banyak sekali memberikan tugas menulis, dalam setiap kesempatan menulis dan menulis adalah hal yang harus dilakukan oleh murid-muridnya tak terkecuali Helmi. Rupanya hal ini membuat Helmi mulai tidak kerasan. Terkadang dengan berbagai alasan Helmi memohon kepadaku agar diijinkan tidak masuk sekolah, entah karena nggak enak badan lah, ngantuk lah, kakinya pegel lah, dll.
Setelah aku ajak bicara dan aku tanya apa yang sebenarnya membuat dia malas ke sekolah, ternyata jawabannya adalah karena Helmi malas menulis, menurut Helmi tugas menulis yang di berikan Bu Lala terlalu banyak.
Memang, aku juga heran, kenapa Bu Lala ngasih tugas menulisnya begitu banyak? Lembar Kerja Siswa (LKS) yang seharusnya bisa langsung diisi, ini harus disalin dulu ke buku tulis, baru kemudian dikerjakan. Mending kalau cuma satu bagian, terkadang ada dua bahkan tiga, itulah yang membuat Helmi keberatan.
Demikian juga dengan buku paket, cara pengerjaannya pun harus disalin dulu di buku tulis, baru dikerjakan. Menurutku hal ini tidak efektif, lebih baik yang disalin jawabannya saja tidak perlu soalnya.
Meski demikian aku tetap menasehati Helmi agar ia mengambil hikmah positifnya saja, dengan banyak menulis, lama-lama tulisan Helmi jadi bagus, pelajaran pun lebih mudah melekat karena dihafalkan sambil ditulis. Kata-kata itu yang sering aku nasihatkan kepada Helmi agar ia mau mengerti. Tapi Helmi tetap saja uring-uringan.
Dan hari ini Helmi mogok lagi pergi kesekolah dengan alasan yang sama yaitu nulisnya terlalu banyak. Jika sudah begini kepalaku rasanya pusing, terbayang kerepotanku ketika harus menunggu Helmi sekolah dari bel masuk sampai pulang, dan hal ini berlangsung sampai tiga bulan, ketika kami di Karangsari.
Apakah hal ini akan terulang lagi? Terbayang rasa jenuh, bosan, capek badan dan pikiran bahkan berat badanku turun hampir 3 kg, ketika harus menemani Helmi sekolah dari berangkat hingga pulang, berhari-hari sampai tiga bulan lamanya, masyaAllah...(ternyata sepeti ini rasanya menjadi ibu).
Agar hal seperti itu tidak terulang lagi, aku berusaha mengambil langkah preventif jika Helmi terlihat mulai bermasalah. Salah satunya dengan berkomunikasi dengan guru pengajarnya juga memotifasi Helmi agar tetap semangat. Sebenarnya bisa saja aku memindahkan Helmi ke kelas lain, tapi menurutku hal ini kurang mendidik, seolah-olah aku mengajarkan Helmi lari dari masalah bukan belajar menghadapinya.
Aku selalu memotifasi Helmi agar dia kuat, sebagai laki-laki ia tidak boleh cengeng, dia harus belajar menghadapi masalah dan mengatasinya, bukan sebaliknya pergi dan meninggalkan masalah, karena masalah akan selalu ada dalam kehidupannya.
Fase perkembangan mental anak laki-laki dan perempuan memang berbeda, diusia yang masih dini anak perempuan terlihat lebih matang. Sedangkan anak laki-laki perkembangan mentalnya jauh lebih lambat, mungkin hal ini dikarenakan anak lelaki suatu saat akan memikul tanggungjawab yang lebih besar, sehingga ia membutuhkan waktu persiapan lebih lama agar benar-benar siap ketika tanggungjawab tersebut sudah berada dipundaknya.
Sebagai anak laki-laki aku berharap suatu saat Helmi menjadi anak yang sholeh kuat dan tangguh, sanggup menghadapi segala problema kehidupan. Biarlah dimasa persiapan ini Helmi banyak merepotkan kami orang tuanya, mudah-mudahan kami cukup memiliki kesabaran, agar kami mampu mengantarkannya menjadi anak yang sholeh, bahagia dunia dan akhirat...aamiin.
Setelah aku ajak bicara dan aku tanya apa yang sebenarnya membuat dia malas ke sekolah, ternyata jawabannya adalah karena Helmi malas menulis, menurut Helmi tugas menulis yang di berikan Bu Lala terlalu banyak.
Memang, aku juga heran, kenapa Bu Lala ngasih tugas menulisnya begitu banyak? Lembar Kerja Siswa (LKS) yang seharusnya bisa langsung diisi, ini harus disalin dulu ke buku tulis, baru kemudian dikerjakan. Mending kalau cuma satu bagian, terkadang ada dua bahkan tiga, itulah yang membuat Helmi keberatan.
Demikian juga dengan buku paket, cara pengerjaannya pun harus disalin dulu di buku tulis, baru dikerjakan. Menurutku hal ini tidak efektif, lebih baik yang disalin jawabannya saja tidak perlu soalnya.
Meski demikian aku tetap menasehati Helmi agar ia mengambil hikmah positifnya saja, dengan banyak menulis, lama-lama tulisan Helmi jadi bagus, pelajaran pun lebih mudah melekat karena dihafalkan sambil ditulis. Kata-kata itu yang sering aku nasihatkan kepada Helmi agar ia mau mengerti. Tapi Helmi tetap saja uring-uringan.
Dan hari ini Helmi mogok lagi pergi kesekolah dengan alasan yang sama yaitu nulisnya terlalu banyak. Jika sudah begini kepalaku rasanya pusing, terbayang kerepotanku ketika harus menunggu Helmi sekolah dari bel masuk sampai pulang, dan hal ini berlangsung sampai tiga bulan, ketika kami di Karangsari.
Apakah hal ini akan terulang lagi? Terbayang rasa jenuh, bosan, capek badan dan pikiran bahkan berat badanku turun hampir 3 kg, ketika harus menemani Helmi sekolah dari berangkat hingga pulang, berhari-hari sampai tiga bulan lamanya, masyaAllah...(ternyata sepeti ini rasanya menjadi ibu).
Agar hal seperti itu tidak terulang lagi, aku berusaha mengambil langkah preventif jika Helmi terlihat mulai bermasalah. Salah satunya dengan berkomunikasi dengan guru pengajarnya juga memotifasi Helmi agar tetap semangat. Sebenarnya bisa saja aku memindahkan Helmi ke kelas lain, tapi menurutku hal ini kurang mendidik, seolah-olah aku mengajarkan Helmi lari dari masalah bukan belajar menghadapinya.
Aku selalu memotifasi Helmi agar dia kuat, sebagai laki-laki ia tidak boleh cengeng, dia harus belajar menghadapi masalah dan mengatasinya, bukan sebaliknya pergi dan meninggalkan masalah, karena masalah akan selalu ada dalam kehidupannya.
Fase perkembangan mental anak laki-laki dan perempuan memang berbeda, diusia yang masih dini anak perempuan terlihat lebih matang. Sedangkan anak laki-laki perkembangan mentalnya jauh lebih lambat, mungkin hal ini dikarenakan anak lelaki suatu saat akan memikul tanggungjawab yang lebih besar, sehingga ia membutuhkan waktu persiapan lebih lama agar benar-benar siap ketika tanggungjawab tersebut sudah berada dipundaknya.
Sebagai anak laki-laki aku berharap suatu saat Helmi menjadi anak yang sholeh kuat dan tangguh, sanggup menghadapi segala problema kehidupan. Biarlah dimasa persiapan ini Helmi banyak merepotkan kami orang tuanya, mudah-mudahan kami cukup memiliki kesabaran, agar kami mampu mengantarkannya menjadi anak yang sholeh, bahagia dunia dan akhirat...aamiin.
sy tersenyum baca postingan ini mbak.. Tersenyum karena merasa punya temen dengan problem yang mirip2.. Helmi & Keke sama2 kelas 3 SD. Sama2 tdk menyukai kegiatan tulis menulis & akhirnya punya problem2 yg mirip dg Helmi.. Alhamdulillah skrg udah selesai masalahnya Dan skrg sy lagi ngedraft postingan ttg masalah ini.. :)
BalasHapusgitu ya bunda? ternyata ada yg senasib dg sy :) memang bunda, ada anak2 yg tipenya seperti anak2 kita, mudah2an kesabaran kita membuahkan keridhoan Allah SWT...aamiin.
Hapus