Sebagai orang Jawa, tentu aku bangga berbahasa Jawa, meski aku jarang dan belepotan jika menggunakannya, karena sudah sekian lama tidak berbahasa Jawa. Terus letak bangganya ada disebelah mana?
Sebagai orang Jawa aku merasa bangga ketika mendengarkan percakapan antara Bp. Suharto (presiden RI waktu itu), dengan delegasi dari Suriname. Suriname adalah salah satu negara bagian negri Belanda, yang penduduknya mayoritas berasal dari suku Jawa. Pada masa penjajahan entah karena faktor apa, mereka berpindah ke Suriname dan menetap disana.
Percakapan antara Bp. Suharto dan wakil delegasi dari Suriname, terlihat menarik karena delegasi dari Suriname yang seorang bule dengan postur tinggi besar, terlihat sangat fasih berbahasa Jawa halus. Kira-kira seperti ini cuplikan percakapan mereka (hampir 20 th yang lalu).
Delegasi dari Suriname berujar "Negari Indonesia kalih negari Suriname, ibaratipun sawung, niku asalipun saking setunggal petarangan." Mendengar kalimat tersebut Bp. Suharto dan para wartawan yang hadir termasuk aku yang melihat dari layar kaca, tersenyum.
Rupanya delegasi dari Suriname tersebut agak keheranan, demi melihat yang Bp. Suharto dan para wartawan saling senyum, kemudian dia melanjutkan kalimatnya dengan pertanyaan singkat masih dengan bahasa Jawa yang kental "Nggih to?" Seolah dikomando serentak semua yang hadir menjawab "Nggiiiiiiiih".
Secuil percakapan yang masih aku ingat meski sudah hampir 20 th berlalu, sangkin exited nya.
Aku juga bangga ketika salah seorang teman yaitu Mbak Kris, terlihat sangat fasih berbahasa Jawa halus, ketika memberi sambutan pada acara lomba sholawat yang kami gelar di Randudongkal. Mbak Kris terdengar sangat fasih layaknya seorang ustadzah dari kampung seberang.
Mbak Kris yang seorang dokter gigi, juga ketua Salimah kabupaten Pemalang, sangat fasih memberikan kata sambutan, hingga ketika turun panggung aku berujar "Mbak, nanti kalau aku ngadain acara, Mbak Kris aja ya, yang jadi penceramahnya, daripada nyari ustadzah lain."
Mungkin buat orang yang sudah biasa mendengar ceramah berbahasa jawa, hal ini tidaklah asing. Tapi buatku, apalagi sebelumnya aku mengira Mbak Kris akan berbahasa Indonesia ketika memberi sambutan, cukup membuat terkesima.
Tapi, Mbak Kris memang rekomended untuk menjadi seorang ustadzah. Selain karena kemapuan berkomunikasinya dengan khalayak ramai, juga yang terpenting, ilmu agamanya InsyaAllah sudah mumpuni. Next time, kalau aku bikin acara di Karangsari, insyaAllah penceramahnya Mbak Kris (bukan biar gratis, meski iya juga, ehm).
Itulah sedikit catatan tentang bahasa jawa, yang merupakan bahasa ibu buatku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar