Kamis, 05 Februari 2015

Dimuat di Republika : Menabung dan Berinfaq

"Udah tau belum, tulisannya dimuat di republika?" Suatu sore Mbak Haya Aliya Zaki inbox di fb.
"Masyaallah...belum tau Mbak. Alhamdulillah...baru pertama ngirim langsung dimuat." Aku menjawab dengan girang.


Setelah terinspirasi para emak yang tulisannya dimuat di media, akhirnya, aku mengikuti jejak mereka.  Tulisan yang aku kirim ke rubrik buah hati di Leisure Republika, dimuat tanggal 27 Januari 2015, selang dua minggu dari waktu pengiriman.

Sebelum tulisanku dimuat, aku mendapat email dari redaksi  yang mengatakan bahwa tulisanku menarik, hanya saja aku diminta menambahkan percakapan antar ibu anak yang sesuai dengan jalan cerita. Baru mendapat email saja rasanya sudah seneng banget. Aku merasa ada harapan tulisanku akan dimuat. Dan ternyata benar, hanya saja aku nggak menyangka akan secepat itu.

Dari membaca pengalaman para emak, mereka harus menunggu lama sampai tulisannya dimuat. Bahkan ada yang sampai berbulan-bulan, meskipun ada yang cepet juga. Alhamdulillah, tulisanku tidak antri terlalu lama. Mungkin karena temanya pas dengan apa yang akan ditayangkan oleh redaksi.

Karena terlambat mengetahui, aku tidak sempat membeli korannya. Sebagai penulisnya, tentu aku sangat ingin melihat hasil tulisanku. Aku pun bertanya pada teman-teman di grup BBM barangkali mereka berlangganan koran republika. Tapi hasilnya nihil. Beruntung Mbak Haya Aliya Zaki yang baik hati dan tidak sombong :) bersedia mengirimkan korannya untuk ku. Alhamdulillah. Terimakasih banyak Mbak Haya Aliya Zaki. Terimakasih juga kalimat penyemangatnya :)




Seperti emak yang lain, tulisanku juga diedit oleh pihak redaksi, meski tidak banyak. Tulisan aslinya adalah seperti berikut.

Membiasakan Berinfaq dan Menabung

       “Mi, aku pingin punya sepeda, kayak punya Sumayyah.” Suatu hari Yumna merengek minta dibelikan sepeda.

       “Boleh sayang, tapi Yumna nabung dulu yaa.” Aku menyarankan.

       “Nanti, kalau tabungannya sudah banyak, baru buat beli sepeda.” Ujarku melanjutkan.

       “Kenapa, sih, Mi, harus nabung dulu?” Yumna bertanya seolah protes.

       “Iya, sayang...kan sepeda harganya mahal, jadi...uangnya dikumpulin dulu biar cukup. Sabar yaa.” Aku menjelaskan.

       Yumna adalah anak bungsuku yang berusia 5 tahun 7 bulan. Hari Jumat kemarin, dengan diantar ayah, Yumna membeli sepeda roda 2 berwarna pink dengan uang hasil tabungannya sendiri.  Untuk bisa membeli sepeda, Yumna sudah  mengumpulkan uang selama hampir enam bulan. Ketika pertama pertama kali Yumna mengungkapkan keinginannya untuk memiliki sepeda, aku memang sengaja tidak langsung membelikan. Tapi aku menyarankan agar Yuman menabung terlebih dahulu. Kebetulan disekolah TK tempat Yumna belajar, mengajurkan agar muridnya menabung. Begitu uang yang terkumpul sudah cukup banyak, aku tinggal menambahkan sisanya.

       Menabung adalah sebuah kebiasaan baik yang menurutku perlu ditanamkan sejak kecil. Dengan menabung, anak akan belajar mengelola uang jajan, agar tidak dibelanjakan seluruhnya. Menabung juga membuat anak mengerti bahwa untuk mendapatkan sesuatu tidaklah mudah. Tapi harus ada usaha dan kerja keras. Dengan demikian anak akan menghargai jerih payah orang tuanya. Menabung juga mengajarkan anak untuk bersabar ketika ingin mendapatkan sesuatu. Nila-nilai tersebut tidak akan ia dapatkan manakala orangtua selalu menuruti kemauan anak, atau memanjakannya.

       Namun, untuk membiasakan hal-hal baik, terkadang tidaklah mudah. Seringkali aku mendapat teguran dari nenek atau kakeknya, yang tidak tega melihat cucunya merengek meminta sesuatu. Maklum, orang tuaku sangat menyayangi cucu-cucunya, bahkan cenderung memanjakan. Mereka mengatakan bahwa aku terlalu pelit pada anak. Bahkan aku dikatakan terlalu keras dalam mendidik anak yang masih kecil. Tapi, secara perlahan aku berusaha menjelaskan kepada mereka, tentang tujuan ku mengajarkan anak menabung. Dan alhamdulillah, mereka mau mengerti.  

       Sebelumnya, kepada dua orang kakak Yumna, aku juga menerapkan hal serupa. Alhamdulillah, mereka mau mengerti dan mau mengikuti saranku. Bahkan mereka merasa bangga, ketika bisa membeli barang dengan uang mereka sendiri. Dengan sendirinya rasa percayadiri mereka tumbuh. Sekarang Mas Helmi sudah kelas lima SD dan Mbak Iqlima sudah kelas satu SMA. Mereka sudah terbiasa menabung dengan cara mereka masing-masing. Tanpa sepengetahuanku, Mas Helmi mengikuti arisan dengan beberapa orang temannya dikomplek perumahan kami. Ketika tanpa sengaja aku mengetahuinya, aku pun bertanya penuh selidik. 

“Mas, kok, ikut arisan nggak bilang sama ummi?”

“Iya, Mi, tadinya Mas mau bikin kejutan. Pulang main, Mas bawa uang banyak kalau nanti dapat arisan.” Mas Helmi menjelaskan.  

“Kenapa Mas nggak ngumpulin uang di rumah aja, kan, sama aja.” Ujarku menguji.

“Susah, Mi, nanti diambilin terus buat jajan.” Mas Helmi mengemukakan alasan.

       Aku mengangguk sambil tersenyum mendengar penjelasan Mas Helmi. Mas Helmi yang memiliki tubuh gemuk memang suka jajan. Tapi karena sudah terbiasa menabung sejak kecil, ia pun mencari cara agar tetap bisa melanjutkan kebiasaannya itu. 

       Lain halnya dengan Mbak Iqlima. Memiliki sifat hemat membuat ia tidak kesulitan menabung sendiri dirumah. Karena kebiasaan menabung itulah mereka bisa membeli barang-barang yang mereka inginkan tanpa harus memintanya kepadaku. Tentu saja aku selalu menyarankan, agar mereka hanya membeli barang yang bermanfaat yang memang mereka perlukan.

     Selain menabung, mereka juga aku ajarkan berinfaq. Ada sebuah kaleng yang aku sediakan dirumah sebagai kotak infaq. Sesekali aku mengingatkan agar mereka mengisi kaleng tersebut dengan sebagian uang jajannya. Jadi, tidak hanya celengan pribadi saja yang dipenuhi, tapi juga kaleng infaq. Jika ada peminta-minta atau tukang sampah datang kerumah, aku meminta anakku agar mengambil uang dari kaleng infaq, untuk diberikan kaepada mereka. Aku sengaja menyediakan kaleng infaq, agar anak-anak tidak hanya memikirkan keperluan mereka sendiri, tapi juga peduli pada kesusahan orang lain.

       Aku berharap kebiasaan menabung dan berinfaq yang aku tanamkan, akan terus diterapkan dalam kehidupan mereka sampai mereka dewasa kelak. Bahkan aku berharap, mereka akan mengajarkannya pada anak-anaknya ketika mereka sudah berkeluarga, begitu seterusnya.

       Ternyata, membiasakan anak untuk gemar berinfaq dan menabung tidak lah sulit. Asalkan mereka kita beri pengertian tentang manfaatnya, juga kita sediakan sarana untuk memudahkannya. Dan jangan lupa, sebagai orangtua, kita adalah contoh yang nyata bagi mereka, sehingga mereka mudah memahami apa yang kita perintahkan.

***

Jika memiliki pengalaman yang menarik dalam mendidik anak, bisa lho, dikirimkan ke rubrik buah hati leisure@rol.republika.co.id panjang tulisan 2.500 karakter, disertai foto. Sertakan juga alamat, nomer identitas, nomer telepon, nomer rekening dan sedikit narasi tentang profil kita.

30 komentar:

  1. Barokallah mak. Makin banyak emak blogger yg nulis di Republika nih :-)

    BalasHapus
  2. Waaa...mupeng..
    Selamay ya Mak.....:-)

    BalasHapus
  3. Selamat mak, sangat inspiratif ceritanya

    BalasHapus
  4. Selamat mak... jadi penyemangat juga nih buat kirim2 tulisan ke media. ;)

    BalasHapus
  5. bagus mak, seneng ya, saya juga udah mulai kirim2 tulisan ke media, alhamdulillah belum ada yg dimuat, mdh2an nanti ketularan ...

    BalasHapus
  6. Hihi alhamdulillah, semoga saya bisa mengikuti jejak nampang di media ya, Mak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihi...aamiin :) hayuk dikirim tulisannya.

      Hapus
  7. Selamat mak ..wah baru sadar trnyta 2500 karakter ya.aku kirim 250kata.pantesan ga ada kabar. Hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mak, 2500 karakter. tapi saya juga nggak ngitung, sih mak, begitu semua unek2 selesai dikeluarin, diedit terus dikirim. untungnya jumlahnya sesuai :)

      Hapus
  8. wah selamat mak :) ikutan senengg :) jadi termotivasiiiii

    http://stylediaryofmilkteabunda.blogspot.com/

    BalasHapus
  9. Selamat ya mbak. Semoga saya bisa ikut nyusul punya karya di koran/majalah. Aamiin

    BalasHapus
  10. Kereeen selamat mak, aku pernah skali dimuat d republika, hbs itu kirim lg blm ada kbr smpe sekarang

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih mak. Saya juga pengin bisa ngirim ke majalah Ummi kayak mak Rahmi Aziza :)

      Hapus
  11. wah selamat ya mak. kayaknya perlu nyoba juga ya aku. Salam kenal Mak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayo nyoba mak...
      Salam kenal kembali, makasih :)

      Hapus
  12. Tulisannya inspiratif mak, selamet ya :D

    BalasHapus
  13. Wah...selamat ya Mak tulisannya nembus Republika... Menjadi penyemangat Emak2 lainnya tak terkecuali diriku... Mksh ya sdh sharring...

    BalasHapus