Rabu, 04 Februari 2015

Kamera Jadul



Meski dulu belum jamannya selfie, tapi aku sangat ingin memiliki kamera. Enak, kali ya, kalau ada sesuatu yang menarik, terus kita bisa mengabadikannya dengan kamera? Unek-unek itulah yang mengawali keinginanku.


Beruntung ada seseorang yang berniat menjual kameranya, dan menawarkannya pada bapakku. Tidak ingin kehilangan kesempatan, aku segera membujuk bapak, agar membeli kamera itu. Bapak yang mengetahui kalau aku sudah lama mengiinginkan kamera, akhirnya menuruti keingianku.

Horee...eh, alhamdulillah...akhirnya aku punya kamera, meskipun seken alias bekas pakai. Dijaman itu, kira-kira 20 tahun yang lalu, jangan harap bapak mau membelikan aku kamera baru yang ada di toko, mau membelikan aku kamera seken saja, sudah alhamdulillah tenan.

Buat keluarga kami, barang-barang seperti kamera bukanlah kebutuhan penting. Seadainya aku nggak minta, nggak punya juga nggak apa-apa. Begitu menurut bapak. Cukuplah menunggu Pak Kaliri, seorang tukang foto keliling yang menjadi langganan warga desa kami, jika ingin difoto. Jepret! Bayar Rp 300,- tunggu hasilnya selama 1 minggu, selesai.

Jadi, aku harus banyak-banyak bersyukur karena bapak sudah mau membelikan aku kamera. Setelah memiliki kamera, aku semakin memperhatikan apa-apa yang aku temui, untuk kemudian difoto. Sesekali aku selfie, terutama jika ingin mencoba suatu gaya, tapi aku malu dilihat orang lain. Jadi aku memfoto diri sendiri alias selfie. Misal, aku ingin tahu seperti apa, sih rupaku kalau aku pakai cadar? Aku pun memakai jilbab plus cadar kemudian selfie.

Ketika ada acara sekolah seperti study tour atau perpisahan, aku membawa serta kameraku untuk mengabadikan moment-moment tersebut. Jika temanku ingin memiliki foto serupa, karena kebetulan kami berfoto bareng, maka aku tinggal menggandakannya ketika mencetak.

Sewaktu memiliki anak pertama yaitu Iqlima, kamera menjadi barang penting buat kami. Kami tidak ingin melewatkan masa tumbuh kembang Iqlima, tanpa mengabadiakannya. Ketika ia baru bisa tengkurap, aku memfotonya. Ketika digendong, ketika mandi, ketika baru merangkak, ketika baru bisa berjalan, bahkan sekedar melihat Iqlima tersenyum pun, kami memfotonya. Sepertinya tidak ada moment yang terlewat, kecuali kami memfotonya.

Maka tak heran jika foto-foto Iqlima sewaktu bayi dan kanak-kanak, memenuhi album foto kami. Hal ini juga yang terkadang menjadi pertanyaan oleh Helmi dan Yumna, adik Iqlima. Helmi sama Yumna seolah cemburu, kerena sedikit sekali foto mereka dibandingkan foto Iqlima kakaknya.

Entah kenapa, begitu memiliki anak kedua, aku tidak terlau heboh. Rasanya memiliki anak itu sudah biasa dan tidak terlalu terkagum-kagum melihat tumbuh kembangnya, sehingga harus selalu diabadikan. Bukan berarti aku nggak sayang sama Helmi dan Yumna, tapi caraku mewujudkan kasihsayang yang tidak sama.  Hanya sesekali saja aku menggunakan kamera untuk memfoto Helmi atau Yumna. Apalagi sekarang sudah ada smartphone. Ingin memfoto kapan saja, dimana saja, sangatlah mudah.

Semenjak memiliki hape berkamera, aku tidak pernah lagi menyentuh kamera lamaku. Aku menyimpannya baik-baik dilemari, dan memperlakukannya sebagai barang antik. Meski tidak antik-antik amat. Terkadang Helmi atau Yumna mengambilnya sekedar untuk dilihat-lihat atau memfoto sesuatu, meski didalamya tidak ada film nya. Sepertinya mereka penasaran.

Kamera...kamera...Waktu baru pertama memiliki, aku sangat senang bukan alang kepalang. Tapi sekarang sudah ada smartphone yang menggantikan fungsinya, jadi kamera lamaku hanya menjadi penghuni lemari. Apakah sebaiknya aku berniagain aja ya?

2 komentar:

  1. Dan menjadi benda sejarah penuh kenangan ya mak. Aku malah dulu ga pernah pegang kamera..hehe
    Salam kenal dan sukses selalu.
    Liswanti627.blogspot.com

    BalasHapus