Mudik kali ini tidak jauh berbeda dg mudik tahun-tahun sebelumnya yaitu diwarnai kemacetan di sepanjang jalur pantura. Namun ada sedikit peristiwa yg membuat mudikku kali ini terasa berbeda yaitu "nyasarnya" kami dari jalur alternatif yg ditentukan hingga kami hampir saja kehilangan moment untuk berlebaran bersama orang tua di kampung halaman.
Ingin tahu kisahnya? Check it out!
Seperti biasa, beberapa kilometer sebelum gerbang tol Cikampek terjadi kemacetan yg cukup parah hingga beberapa kali kami terpaksa mematikan mesin mobil karena berhenti cukup lama, sebelum akhirnya berjalan kembali beberapa meter dan berhenti lagi begitu seterusnya.
Mobil yg dikendarai langsung oleh Abi tanpa sopir cadangan, terus berada di tengah kemacetan tanpa bisa menghindar. Setelah bersabar beberapa lama akhirnya kami sampai juga di pintu tol Cikampek.
Dari pengeras suara terdengar pemberitahuan yg disampaikan oleh petugas jasa marga, bahwa terjadi kemacetan hingga 12 jam di jalur pantura (subhanallah) untuk itu kami dianjurkan untuk mengambil jalur alternatif yaitu jalur tengah.
Tanpa pikir panjang kami ikuti anjuran tersebut, setelah pintu tol Cikampek kami membelokkan mobil kearah kanan yg memang kondisinya lebih lengang menuju jalur alternatif yg dianjurkan petugas.
Ada sedikit keheranan ketika melihat hanya sedikit orang yg mengikuti anjuran tersebut, sementara sebagian besar yg lain lebih memilih jalur utama yg diberitakan sedang macet parah.
Tapi biarlah kan masing-masing orang punya alasan yg berbeda, pikirku. Jalur tengah yg merupakan jalur alternatif melintasi daerah Sadang kemudian Subang. Sepanjang perjalanan dijalur tengah ini tidak terdapat keramaian seperti halnya di jalur pantura.
Di jalur ini suasana relatif sepi, kanan kiri jalan hanya terdapat hutan jati, sesekali ada rumah penduduk yg jumlahnya hanya beberapa. Fasilitas umum seperti masjid/mushola, SPBU dan warung makan pun sangat sulit dijumpai.
Beruntung meski kami tidak mengetahui kondisi tersebut sebelumnya, tapi kami seolah-olah sudah mempersiapkan diri. Kami sudah melaksanakan sholat maghrib dan isya, BMM pun sudah terisi penuh ditambah dg perbekalan logistik yg cukup memadai sehingga tidak kelaparan meski tidak bertemu warung makan, alhamdulillah....
Kami hanya sedikit mengalami kesulitan ketika waktu subuh hampir habis sementara masjid/mushola belum juga di temui. Sampai akhirnya kami mendapati sebuah bengkel dan warung sederhana yg alhamdulillah didalamnya terdapat sebuah mushola kecil.
Aku menyebutnya "mushola jadi-jadian" maksudnya adalah mushola yg dibuat tidak permanen yg hanya diperuntukkan bagi para pemudik yg mampir di situ. Mushola yg lebih mirip bilik ini luasnya hanya kurang lebih 3m2 dg dinding papan seadanya. Letaknya yg menempel dg ruangan sebelah yg sedang menyalakan tape recorder membuat mushola menjadi full music, alhasil kami pun sholat dg diiringi suara musik yg cukup keras.
Namun mushola ini lumayan bersih sehingga kami tidak ragu-ragu sholat didalamnya. Selesai sholat kami beristirahat sejenak sekedar menghilangkan kepenatan sambil menunggu kemacetan jalan yg akan kami lalui mereda.
Meski melalui jalur alternatif bukan berarti terbebas dari kemacetan sama sekali, ada beberapa titik kemacetan yg harus kami lewati meski tidak separah jalur pantura.
Setelah laju kendaraan terlihat lancar barulah kami mulai melanjutkan perjalanan.
Terbuai oleh lancarnya perjalanan, kami tidak ingat bahwa setelah Subang harus berbelok kearah kiri menuju ke Kadipaten untuk selanjutnya langsung Cirebon. Alih-alih belok kiri Abi sang driver justru mengambil jalan terus lurus kedepan hingga akhirnya kami sampai di Sumedang, sebuah daerah yg lebih dekat ke arah Bandung daripada Cirebon.
Disinilah aku merasa khawatir dan sedikit putus asa karena merasa berada ditempat yg jauh tanpa tahu kapan bisa sampai di Pemalang sementara yg kami temui adalah kemacetan demi kemacetan. Yang aku khawatirkan adalah kami belum tiba di rumah ketika hari raya idul fitri, karena hal ini akan membuat orang tua merasa khawatir.
Akhirnya kami sampai di pertigaan jalan raya Sumedang yg disitu terdapat petunjuk arah bahwa dg berbelok kearah kiri maka kami akan sampai di Cirebon yg jaraknya kurang lebih 62km. Ada sedikit kelegaan karena kami menemui titik terang untuk kembali ke jalur pantura.
Ketika kendaraan sedang melaju tiba-tiba ada polisi yg memberhentikan kami, hal ini membuat kami bertanya-tanya "Kesalahan apa yg telah kami lakukan? Apa kami melanggar marka jalan?
Sederet pertanyaan muncul di benakku, namun ternyata petugas tersebut memberhentikan kami hanya untuk meminta kami mengambil jalan alternatif agar terhindar dari kemacetan akibat adanya pasar tumpah.
Kami pun mengikuti anjuran tersebut, sebagai penunjuk arah ada seorang petugas polisi yg yg mengendarai sepeda motor di depan mobil kami.
Setelah melewati jalan alternatif sepanjang 2 km, kami kembali lagi ke jalur utama tanpa melewati keramaian pasar tumpah.
***
Alhamdulillah....akhirnya sampai juga perjalanan kami di kota Tegal, kota terdekat dg kampung halaman kami. Karena rumah orang tua kami berada di daerah Pemalang selatan, maka dari kota Tegal kami membelokan laju kendaraan kearah kanan agar lebih cepat sampai tujuan yaitu melewati kota Slawi, Yomani, Bojong, Tuwel, Simpar dan yg terakhir desa Karangsari tercinta sebagai tujuan akhir perjalanan kami.
Pemandangan alam selama perjalanan antara Tegal-Karangsari sangatlah indah, berkelok liku naik dan menuruni bukit, hampir sama dg perjalanan kearah puncak Bogor. Udarapun mulai terasa sejuk berbeda dg perjalanan kami di sepanjang jalur pantura yg panas, berdebu dan penuh asap kendaraan.
Rasa capek dan lelah selama perjalanan mendadak hilang begitu kami sampai di gunung Kukusan, dimana dari gunung tersebut kami sudah bisa melihat desa Karangsari.
Sampai akhirnya kami benar-benar sampai di rumah dan disambut oleh bapak dan ibu yg sudah menunggu kehadiran kami untuk merayakan hari raya idul fitri bersama.
Itulah kisah perjalanan mudik kami di tahun 2012, kami berharap akan ada masa dimana mudik tidak lagi diwarnai kemacetan, sehingga tidak ada lagi istilah "Bukan Mudik Kalau Nggak Muaceet"
Dari pengeras suara terdengar pemberitahuan yg disampaikan oleh petugas jasa marga, bahwa terjadi kemacetan hingga 12 jam di jalur pantura (subhanallah) untuk itu kami dianjurkan untuk mengambil jalur alternatif yaitu jalur tengah.
Tanpa pikir panjang kami ikuti anjuran tersebut, setelah pintu tol Cikampek kami membelokkan mobil kearah kanan yg memang kondisinya lebih lengang menuju jalur alternatif yg dianjurkan petugas.
Ada sedikit keheranan ketika melihat hanya sedikit orang yg mengikuti anjuran tersebut, sementara sebagian besar yg lain lebih memilih jalur utama yg diberitakan sedang macet parah.
Tapi biarlah kan masing-masing orang punya alasan yg berbeda, pikirku. Jalur tengah yg merupakan jalur alternatif melintasi daerah Sadang kemudian Subang. Sepanjang perjalanan dijalur tengah ini tidak terdapat keramaian seperti halnya di jalur pantura.
Di jalur ini suasana relatif sepi, kanan kiri jalan hanya terdapat hutan jati, sesekali ada rumah penduduk yg jumlahnya hanya beberapa. Fasilitas umum seperti masjid/mushola, SPBU dan warung makan pun sangat sulit dijumpai.
Beruntung meski kami tidak mengetahui kondisi tersebut sebelumnya, tapi kami seolah-olah sudah mempersiapkan diri. Kami sudah melaksanakan sholat maghrib dan isya, BMM pun sudah terisi penuh ditambah dg perbekalan logistik yg cukup memadai sehingga tidak kelaparan meski tidak bertemu warung makan, alhamdulillah....
Kami hanya sedikit mengalami kesulitan ketika waktu subuh hampir habis sementara masjid/mushola belum juga di temui. Sampai akhirnya kami mendapati sebuah bengkel dan warung sederhana yg alhamdulillah didalamnya terdapat sebuah mushola kecil.
Aku menyebutnya "mushola jadi-jadian" maksudnya adalah mushola yg dibuat tidak permanen yg hanya diperuntukkan bagi para pemudik yg mampir di situ. Mushola yg lebih mirip bilik ini luasnya hanya kurang lebih 3m2 dg dinding papan seadanya. Letaknya yg menempel dg ruangan sebelah yg sedang menyalakan tape recorder membuat mushola menjadi full music, alhasil kami pun sholat dg diiringi suara musik yg cukup keras.
Namun mushola ini lumayan bersih sehingga kami tidak ragu-ragu sholat didalamnya. Selesai sholat kami beristirahat sejenak sekedar menghilangkan kepenatan sambil menunggu kemacetan jalan yg akan kami lalui mereda.
Meski melalui jalur alternatif bukan berarti terbebas dari kemacetan sama sekali, ada beberapa titik kemacetan yg harus kami lewati meski tidak separah jalur pantura.
Setelah laju kendaraan terlihat lancar barulah kami mulai melanjutkan perjalanan.
Terbuai oleh lancarnya perjalanan, kami tidak ingat bahwa setelah Subang harus berbelok kearah kiri menuju ke Kadipaten untuk selanjutnya langsung Cirebon. Alih-alih belok kiri Abi sang driver justru mengambil jalan terus lurus kedepan hingga akhirnya kami sampai di Sumedang, sebuah daerah yg lebih dekat ke arah Bandung daripada Cirebon.
Disinilah aku merasa khawatir dan sedikit putus asa karena merasa berada ditempat yg jauh tanpa tahu kapan bisa sampai di Pemalang sementara yg kami temui adalah kemacetan demi kemacetan. Yang aku khawatirkan adalah kami belum tiba di rumah ketika hari raya idul fitri, karena hal ini akan membuat orang tua merasa khawatir.
Akhirnya kami sampai di pertigaan jalan raya Sumedang yg disitu terdapat petunjuk arah bahwa dg berbelok kearah kiri maka kami akan sampai di Cirebon yg jaraknya kurang lebih 62km. Ada sedikit kelegaan karena kami menemui titik terang untuk kembali ke jalur pantura.
Ketika kendaraan sedang melaju tiba-tiba ada polisi yg memberhentikan kami, hal ini membuat kami bertanya-tanya "Kesalahan apa yg telah kami lakukan? Apa kami melanggar marka jalan?
Sederet pertanyaan muncul di benakku, namun ternyata petugas tersebut memberhentikan kami hanya untuk meminta kami mengambil jalan alternatif agar terhindar dari kemacetan akibat adanya pasar tumpah.
Kami pun mengikuti anjuran tersebut, sebagai penunjuk arah ada seorang petugas polisi yg yg mengendarai sepeda motor di depan mobil kami.
Setelah melewati jalan alternatif sepanjang 2 km, kami kembali lagi ke jalur utama tanpa melewati keramaian pasar tumpah.
***
Alhamdulillah....akhirnya sampai juga perjalanan kami di kota Tegal, kota terdekat dg kampung halaman kami. Karena rumah orang tua kami berada di daerah Pemalang selatan, maka dari kota Tegal kami membelokan laju kendaraan kearah kanan agar lebih cepat sampai tujuan yaitu melewati kota Slawi, Yomani, Bojong, Tuwel, Simpar dan yg terakhir desa Karangsari tercinta sebagai tujuan akhir perjalanan kami.
Pemandangan alam selama perjalanan antara Tegal-Karangsari sangatlah indah, berkelok liku naik dan menuruni bukit, hampir sama dg perjalanan kearah puncak Bogor. Udarapun mulai terasa sejuk berbeda dg perjalanan kami di sepanjang jalur pantura yg panas, berdebu dan penuh asap kendaraan.
Rasa capek dan lelah selama perjalanan mendadak hilang begitu kami sampai di gunung Kukusan, dimana dari gunung tersebut kami sudah bisa melihat desa Karangsari.
Sampai akhirnya kami benar-benar sampai di rumah dan disambut oleh bapak dan ibu yg sudah menunggu kehadiran kami untuk merayakan hari raya idul fitri bersama.
Itulah kisah perjalanan mudik kami di tahun 2012, kami berharap akan ada masa dimana mudik tidak lagi diwarnai kemacetan, sehingga tidak ada lagi istilah "Bukan Mudik Kalau Nggak Muaceet"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar