Jumat, 15 Juli 2016

Mudik Horor Penuh Kenangan

Meski dihadang banyak kebutuhan karena lebaran tahun ini bertepatan dengan tahun ajaran baru dimana anak anak membutuhkan banyak biaya untuk sekolah mereka, tapi aku tetap "nekat"  untuk mudik. Pertimbangannya, karena ortu terutama Bapak sudah sepuh, apalagi kemarin baru saja dirawat di RS. Juga karena kasihan sama anak anak yang memang ingin berlebaran di kampung halaman. Alhamdulillah rizki dari Allah selalu ada.

Ternyata mudik tahun ini kondisinya sangat berbeda dari tahun sebelumnya. Arus mudik yang biasanya selalu diwarnai kemacetan parah, namun masih bisa kami terima bahkan seolah menjadi tradisi mudik yang sering dirindukan, kali ini kemacetan yang terjadi sungguh diluar dugaan. Perjalanan yang semula lancar tanpa kemacetan, karena hanya ada satu pintu tol yang melakukan transaksi, tiba tiba berhenti dibeberapa km sebelum exit Pejagan. Dari situ kemacetan super parah dimulai.


Kendaraan kami mulai terjebak macet sekitar pukul 9 malam. Mobil bergerak hanya 5 sampai 10 meter kemudian berhenti, begitu seterusnya. Hingga pukul 10 pagi keesokkan harinya, kami masih berada di tol arah exit Pejagan. Jadi kami terjebak macet selama 13 jam.  We O We....amazing !

Berada dibelantara jalan tol yang sangat minim fasilitas, membuat kami juga para pemudik lain merasa kerepotan. Yang sangat menyiksa adalah ketiadaan toilet umum. Hal ini membuat para pemudik terpaksa BAK disemak semak yang berada di tepi jalan. Alhamdulillah aku masih bisa menahan pipis. Rasanya nggak bisa banget kalau harus BAK ditempat terbuka seperti itu, tanpa air pula, iihh. Hanya si kecil Yumna yang sempet pipis karena terus merengek.

Hal lain yang juga sangat merisaukan adalah, ketiadaan SPBU. Meski macet parah, kami tidak bisa mematikan mesin kendaraan. Selain sesekali harus bergerak, jika mesin mati, AC juga mati yang bisa membuat kami kegerahan. Alhasil BBM cepat habis. Ada sih, penjual bensin eceran, tapi harganya rek, mihil bingit. Awalnya mereka menjual seharga 20 ribu, lama kelamaan mereka menjualnya dengan harga 50 ribu per liter. GUBRAK! Nggak kebayang kalau harus membeli bensin  dengan harga segitu, pasti nyesek banget. Namun, untuk kesekian kalinya kami kembali bersyukur karena bensin kendaraan kami masih ada, meski tinggal dua strip.

Mendekati pukul 12 siang, sampai lah kami di exit Pejagan. Ternyata sumber kemacetan ada di sini. Setelah melewati tempat tersebut, kendaraan mulai bergerak dengan lancar. Kami melaju menuju brexit alias Brebes exit. Brexit adalah gerbang tol baru yang baru dioprasikan. Mendekati brexit kami menjumpai sebuah rest area. Alhamdulillah, dalam hati aku bersyukur. Aku sudah tidak tahan lagi menahan pipis yang sudah aku tahan sejak semalam.

Namun saudara saudara, rest area di brexit ini sangat tidak terawat. Sampah ada dimana mana tanpa aku melihat satu orangpun petugas kebersihan. Mushola dan tempat berwudhu yang seharusnya bersih, tampak sangat kotor. Bahkan sendal dan sepatu yang seharusnya ada di luar, ini berserakan sampai di bagian dalam mushola. MasyaAllah...betul betul tidak layak. Apalah daya, khawatir kehabisan waktu, aku tetap sholat dengan memilih tempat yang menurutku bersih.

Beberapa menit melaju, kendaraan kami berhasil melewati Brexit dan masuk ke jalur pantura. Sebelum melanjutkan perjalanan, kami memasuki sebuah rest area yang disediakan oleh warga sekitar. Dengan membayar Rp.5000 kendaraan kami parkir di halaman sebuah sekolah yang berdekatan dengan masjid, yang sudah disediakan sebagai rest area. Aku dan anak anak menyempatkan diri untuk mandi dan berganti baju disebuah toilet yang cukup bersih. Alhamdulillah badan terasa lebih segar dan siap melanjutkan perjalanan.

Berada di jalur pantura yang juga macet parah, kami merasa bersalah. Seharusnya kami berbelok kearah selatan mengambil jalur ke arah Guci Tegal yang mungkin tidak terlalu macet. Ala kuli hal, kami sudah terlanjur memasuki jalur pantura dan tetap harus melanjutkan perjalanan.
 
Menjelang maghrib, kami memasuki kabupaten Tegal. Alhamdulillah sebentar lagi sampai, dalam hati aku bergumam. Jarak antara Tegal - Pemalang tempat tujuan kami, memang tidak terlalu jauh. Jika tanpa kemacetan, kami bisa menempuhnya dalam waktu kurang dari satu jam. Tapi kali ini, kami memang harus bersabar.

Ditengah kegembiraan karena sebentar lagi sampai tujuan, muncul masalah baru. Bensin kendaraan sudah mendekati empty. Ya sudah, kami harus segera mencari SPBU. Berbeda dengan kondisi di tol Pejagan, di jalur Pantura sangatlah mudah menemukan SPBU. Hanya saja antrian di beberapa SPBU yang kami temui, mengular sangat panjang. Belum mengantri saja rasanya sudah putus asa.

Tidak mau mengambil resiko kehabisan bensin dijalan, terpaksa kendaraan kami menepi untuk ikut mengantri bersama kendaraan lain yang sudah mengantri sepanjang kurang lebih 2 km. Kami mulai mengantri sekitar jam 8 malam. Kembali, kendaraan hanya bergerak sepanjang 5 sampai 10 meter kemudian berhenti, begitu seterusnya. Waktu menunjukan pukul 10 malam ketika kendaraan kami berada kira kira 500 meter dari SPBU. Rasanya agak sedikit lega.

Meski sudah dekat, banyaknya kendaraan membuat kami sedikit khawatir "jangan jangan sebentar lagi SPBU kehabisan stock" Karena kekhawatiran itulah, aku ditemani Helmi memutuskan untuk turun dengan membawa botol bekas pocari sweet ukuran 2 lt dan dua botol bekas air mineral ukuran 1,5 lt. Kami berniat mengantri bensin secara manual.

Sesampainya di SPBU ternyata antrian manual sudah mengular, tidak kalah panjangnya dengan antrian mobil. Ya sudah, aku mengantri dibagian paling belakang. Tidak berapa lama aku berdiri, sedikit demi sedikit dibelakangku menyusul orang lain yang juga ikut mengantri. Aku mulai mengantri sekitar jam sepuluh malam.

Beberapa botol pengantri manual diisi, setelah itu petugas mengisi mobil yang menjadi gilirannya, begitu seterusnya secara bergantian. Disela sela antrian, para memudik yang memang sudah lelah, berkeluh kesah dengan berkomentar macam macam, protes ini dan itu. Bahasanya kasar dan menyeramkan. Maklum, mereka mungkin kesal dengan kondisi semrawut seperti ini yang tidak pernah terjadi di tahun tahun sebelumnya.
 
Disaat suasanan panas oleh komentar mereka, tetiba ada seorang laki laki yang menyerobot antrian. Kontan saja mereka semakin brutal, mau dikeroyok lah, pengin makan orang lah. Astaghfirullah...kalau saja terjadi kekacaun, bisa bisa kami gagal mendapatkan bensin. Belum lagi kalau harus melihat orang berdarah darah. Oh...tidak! Mudah mudahan hal mengerikan itu tidak pernah terjadi, aku berdoa dalam hati.

Setelah mengantri dari jam 10 malam, pada jam 4 dini hari, barulah tiba giliran pengisisn botol milikku. Rasanya sudah nggak sabar ingin segera mendapatkan bensin dan keluar dari antrian. Ditengah rasa sumringah karena sebentar lagi mendapatkan bensin, tiba tiba datang seseorang berseragam polisi memberitahukan bahwa yang boleh membeli bensin hanya yang membawa STNK. Alasannya karena ada penyalahagunaan bensin, yang dijual oleh masyarakat dengan harga Rp. 50.000 perliter. Ternyata pak polisi baru tahu kalau ada bensin yang dijual dengan harga mahal. Kini giliran aku yang kebingungan karena aku tidak membawa STNK, yang pegang STNK tentu saja suami yang saat ini berada di mobil.

Beruntung ada Helmi didekatku. Aku minta tolong Helmi untuk mengambil STNK. Alhamdulillah mobil sudah memasuki area SPBU sehingga Helmi tidak kesulitan menemui abinya. Setelah menunjukkan STNK, botol milikku pun diisi. Aku keluar dari antrian dengan perasaan lega.
 
Lima liter bensin tidaklah cukup untuk mencapai kampung halamanku. Jadi, mobil kami tetap mengantri untuk mendapatkan bensin yang maksimal hanya boleh dibeli sebanyak Rp.150.000. Setelah menyerahkan 5 liter bensin yang aku dapatkan pada suami, aku bergegas menuju sebuah warung makan untuk makan sahur. Hari itu adalah hari terakhir Ramadhan, jadi sayang kalau tidak berpuasa meski kami musafir.
 
Selesai makan sahur, suami mengabariku bahwa stock bensin habis, sementara mobil kami belum terisi. GUBRAK! Bensin habis, jawaban inilah yang kami dapatkan setelah mengantri dari jam 8 malam sampai jam 4 dini hari, astaghfirullah...
 
Tapi...bagaimanapun kami tetap harus bersyukur, karena sudah mendapatkan 5 liter bensin, toh kami hampir sampai tujuan. Sementara pengantri didepanku masih harus melanjutkan perjalanan sampai Madiun, masyaallah...
 
Berharap pemakaian bensin bisa lebih hemat, suami melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi. Kami harus segera keluar dari pantura, mudah mudahan di daerah Pemalang selatan ada SPBU yang masih buka. Namun perkiraan kami salah, ternyata didaerah Pemalang selatan pun sama, semua SPBU yang kami temui tutup karena kehabisan stock. Ada apa sih sebenarnya? Aku bertanya tanya dalam hati.
 
Terus saja kendaraan kami melaju, sampai akhirnya kami berhenti di SPBU desa Karang moncol, karena bensin kami benar benar sudah habis. Desa Karang moncol adalah desa yang terletak kurang lebih 20 km dari kampung halaman, dan kami terdampar disitu.
 
Tidak mungkin melanjutkan perjalanan, kami berniat menunggu datangnya bensin meski kami tidak tahu kapan waktunya. Memanfaatkan waktu, kami beristirahat di mushola SPBU sambil melepas super kepenatan. Tiba tiba hape ku berdering, ternyata Mbah kakung yang menelfon, beliau menyakan kabar dan keberadaan kami. Aku pun bercerita apa adanya.
 
Mbah kakung berinisiatif untuk mengantarkan bensin, agar kami segera sampai dirumah. Karena jaraknya tidak terlalu jauh, tidak lama, orang suruhan Mbah kakung tiba. Dengan segera suami mengisikan bensin tersebut pada tangki kendaraan kami. 
 
Setelah melewati berbagai rintangan yang memakan waktu selama 42 jam, padahal waktu tempuh normalnya hanya 8 jam, alhamdulillah...akhirnya kami sampai juga dikampung halaman. Sungguh perjalanan mudik yang luar bisa. Kami berharap hal serupa tidak terulang ditahun yang akan datang, dan mudah mudahan pihak terkait memperhatikan keluhan kami. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar