Baru membaca judulnya saja, rasanya sudah serem, apalagi kalau betul-betul mengalaminya. Dan...nahasnya, peristiwa itu memang benar-benar pernah dialami anakku.
Ceritanya, sepulang sekolah Helmi tidak langsung pulang ke rumah, tapi mampir dulu ke rumah salah seorang teman, bersama tiga orang temannya yang lain. Meski aku sudah sering menasehati agar Helmi langsung pulang kerumah begitu pelajaran usai, tapi tetap saja ia sering melanggarnya.
Hari itu ia kembali melanggar laranganku. Ketika sedang berada dirumah temannya, sebut saja namanya Heri, mereka berempat meminjam hape milik Heri secara bergantian, dan Helmi adalah orang terakhir yang meminjamnya. Selesai memakai hape Heri, Helmi meletakkan hape diatas meja begitu saja, tanpa menyerahkannya pada Heri.
Tidak berapa lama, Heri menanyakan keberadaan hapenya. Spontan mereka mengatakan kalau yang terakhir meminjam adalah Helmi. Helmi pun menjawab kalau hapenya tadi ia letakkan diatas meja. Setelah dicari, ternyata hape tersebut sudah tidak ada. Setelah dicari-cari tetap saja tidak ketemu, mereka berempat meminta agar Helmi bertanggungjawab atas hilangnya hape tersebut, karena Helmi lah yang terakhir memegangnya. Helmi sudah menjelaskan kalau ia tidak mengambil hape itu. Tapi mereka tetap bersikeras agar Helmi menggantinya, jika sampai besok hape itu tidak ditemukan.
Sesampainya dirumah, Helmi tampak biasa saja seperti tidak ada masalah. Tapi malam hari sebelum tidur, Helmi nampak gelisah. Ia hanya duduk saja diatas tempat tidur dengan wajah murung. Tidak berapa lama, Helmi mendekatiku yang sedang duduk didepan leptop. Dengan agak berat ia mulai membuka suara.
"Mi, aku mau ngomong," ujar Helmi
"Ya, ada apa?" Tanyaku berusaha setenang mungkin, meski firasatku merasa nggak enak.
"Aku disuruh nggantiin hape teman yang hilang." Kata Helmi membuat aku dan suami tersentak kaget.
Kemudian Helmi menjelaskan kronologogis peristiwanya, sampai hal itu terjadi. Setelah Helmi selesai bercerita, aku dan suami menasehati Helmi secara bergantian. Aku katakan bahwa ia nggak perlu takut kalau memang tidak bersalah. Kalau besok hapenya tidak ketemu dan Heri tetap meminta ganti, aku menyarankan pada Helmi agar tiga orang temannya termasuk Heri diajak main kerumah. Aku berniat menanyai mereka satu persatu, agar jelas duduk perkaranya. Dan jika benar hape itu hilang, aku ingin mereka semua ikut bertanggungjawab karena semuanya ikut meminjam hape Heri.
Malam itu, aku tidak nyenyak tidur. Aku merasa yakin kalau yang mengambil hape itu bukan Helmi. Sebagai ibunya aku tahu sifat Helmi, jangankan mengambil punya temannya, mengambil barang atau uang milik uminya saja tidak pernah. Dan aku tidak pernah mengajarinya untuk berbuat tidak jujur. Nilai-nilai agama selalu aku tanamkan dalam keseharian Helmi juga anak-anakku yang lain.
Keesokan harinya Helmi terlihat enggan pergi kesekolah. Sebagai ibu aku merasa kasihan. Lain halnya dengan suami, melihat Helmi bersikap seperti itu, suami malah marah. Dengan setengah memaksa, abi meminta Helmi tetap berangkat sekolah, karena kalau tidak, ia bisa benar-benar dianggap mengambil hape itu. Begitu menurut abinya. Ya, sikap seorang ibu dan bapak memang berbeda. Kalau aku cenderung ingin melindungi, sedangkan suami berusaha mengajarkan keberanian dan ketegasan.
Tidak seperti biasanya, hari ini aku berniat menjemput Helmi sepulang sekolah. Ada sedikit kekhawatiran, aku khawatir Helmi diapa-apakan temannya. Aku menjemput Helmi bahkan sampai didepan pitu kelas. Begitu pelajaran sekolah selesai, aku langsung membawa Helmi pulang kerumah.
Tanpa menunggu lama, sesampainya dirumah aku langsung bertanya pada Helmi tentang kelanjutan cerita hilangnya hape.
"Tadi Heri nanya sama aku, tentang hapenya." Ujar Helmi.
"Terus kamu jawab apa?" Aku bertanya nggak sabar.
"Aku bilang aku nggak tahu dan yang ngambil hape kamu bukan aku." Helmi melanjutkan.
"Terus?." Aku menunggu.
"Kata Heri aku tetap harus nggantiin. Akhirnya aku jawab kalau aku mau bilang sama abi dulu tentang masalah ini." Helmi menceritakan obrolannya dengan Heri.
"Eh...Heri malah ketawa dan bilang kalau hapenya itu nggak hilang, dia cuma ingin ngerjain aku. Begitu katanya, Mi." Helmi bercerita dengan wajah cerah.
"Masya Allah...becanda? Becandanya keterlaluan!" Kataku sedikit kesal.
Bagaimana nggak kesal, dituduh mencuri itu, bukan hal sepele, bahkan kalau ada orang diteriaki sebagai pencuri, bisa habis dihakimi massa. Lah, ini buat becandaan. Masya Allah...segitunya anak-anak kalau becanda. Meski sedikit kesal, tapi aku lega karena berarti masalah ini sudah selesai.
Walaupun demikian, aku mewanti-wanti Helmi agar hati-hati memilih teman. Dan aku mengungkapkan keberatanku agar Helmi tidak sering-sering bermain dengan Heri dan teman-temannya itu. Meski peristiwa ini hanya guyonan, tapi aku merasa trauma karena anakku dijadikan tertuduh.
Entahlah, mungkin sikapku terkesan berlebihan. Tapi aku yakin, semua ibu pasti memiliki naluri untuk melindungi anak-anaknya.
Hmmm jangan jangan April MOP ya. Heihiee. Tapo eh tapi menurut pandangan saya sih BECANDA seperti itu berlebihan. Tidak semua orang siap dengan model CANDA "menyeramkan" seprerti itu. Kalau ada yang penyakit jantungan urusannya bisa runyam
BalasHapusApril Mop kan baru besok, Pak :)
HapusIya, becandanya serem banget.
ya saya juga pernah ,hp saya diambil saya udh nangis2 eh dikerjain gara2 ultah , terus berhari2 juga di ambilnya :D ,,
BalasHapusuntung nggak ilang benerany ya :)
Hapusiyaa untung ajaa :D .. tapi bercanda nya yang kaya begitu ga lucu ... apalagi sampai dituduh seperti itu :D
HapusSama kita Mbak ... menurut saya, ini bercanda yang keterlaluan. Entah anak itu, apakah terpengaruh tayangan2 zaman sekarang. Kalo saya bakal marah kalo ada bercandaan macam begitu.
BalasHapusIya Mak saya juga sempet pengin marah.
Hapusmemang agak keterlaluan, sih. Apalagi baru dikasih tau becanda setelah lewat 1 malam. Bikin gak bisa tidur. Bagaimana, kalau malam itu spontan langsung beli hape baru untuk menggantikan? Kan, urusannya jadi ribet
BalasHapusBetul Mak.
Hapus